Senin, 15 Februari 2010

IKHLAS

*AKHLASHA (memurnikan)
Sumber : Pusat Studi al-Qur'an
http://www.psq.or.id/ensiklopedia_detail.asp?mnid=34&id=40
*
Kata *akhlasha* adalah bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari
kata kerja intransitif *khalasha *(خَلصَ) dengan menambahkan satu huruf *'alif
*(أ). Bentuk *mudhâri' *(sekarang) dari *akhlasha *(اَخْلَصَ) adalah *yukhlishu
*(يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya yaitu *ikhlash *(إِخْلاص). Kata tersebut
tersusun dari huruf *kha', lam *dan *shad *yang berarti, "murni", "bersih",
"jernih", "tanpa campuran". Maknanya kemudian berkembang menjadi antara lain
"tulus" karena perbuatannya murni dari pengaruh yang lain, "memilih" karena
mengambil sesuatu yang tidak bercampur dengan hal yang tidak dikehendaki,
"bebas" karena terlepas dari campur tangan atau pengaruh pihak lain,
"menyendiri" karena melepaskan diri dari orang banyak, "ikhlas" karena
memurnikan perbuatan hanya untuk Allah dan terlepas dari tujuan-tujuan lain,
"khusus" karena murni kepada yang ditujukan.
Kata *ikhlash *(bentuk mashdar *akhlasha*) mempunyai beberapa pengertian.
Menurut al-Qurtubi, *ikhlash *pada dasarnya berarti "memurnikan perbuatan
dari pengaruh-pengaruh makhluk". Ar-Ruwaim mendefinisikannya dengan "tidak
ada keinginan dari pelakunya terhadap imbalan dan pahala di dunia dan
akhirat'. Al-Junaid mengartikannya sebagai "rahasia di antara hamba dan
Allah, tidak diketahui oleh para malaikat lalu mencatatnya, setan juga tidak
mengetahuinya sehingga tidak dapat merusaknya, dan hawa nafsu pun tidak
mengenalinya lalu condong kepadanya". Sejalan dengan Al-Juwaini, Abu
Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah
riwayat dari Nabi Saw, "Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas.
Lalu Jibril berkata, "Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah," lalu Allah
berfirman, "(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan ke
dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku."
Pengertian yang demikian dapat dijumpai di dalam S. Al-Insan [76]: 9,
*"Sesungguhnya
kami memberi makan kepadamu hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih."*
* *
*Akhlasha *dan pecahannya di dalam al-Quran terulang 31 kali dan *akhlasha
*sendiri terulang dua kali dengan pelaku yang berbeda. Bentuk lain yang
terdapat di dalam al-Quran adalah bentuk *ism fa'il * dari *akhlasha, *yaitu
*mukhlish/mukhlishûn/mukhlishîn *(مَخْلِص/مُخْلِصُوْن/مخُْلِصِين =
orang-orang yang ikhlas), terulang 20 kali. Sebagian dari kata tersebut, ada
ulama yang membacanya sebagai bentuk *ism maf'ul *sehingga menjadi
*mukhlash/mukhlashîn/mukhlashûn
*(مخُْلَصُون/مَخْلَصِين/مُخْلَص = orang-orang yang terpilih); bentuk kata
kerja intransitif, *khalasha *(خَلصَ = menyendiri) sekali; bentuk *ism
fa'il*, *khâlish/khâlishah *(خالِصَة/خالِص = yang murni, yang khusus) tujuh
kali; dan bentuk kata kerja sekarang (*mudhâri'*), *astakhlishu
*(أسْتَخْلصْ= aku memilih) sekali.
Kata *akhlasha *yang terdapat di dalam S. An-Nisâ'* *[4]: 146 diartikan
dengan "memurnikan", yaitu memurnikan ibadah dan ketaatan kepada Allah dari
ria dan syirik. Ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang tidak termasuk
munafik yang akan disiksa kelak di dalam neraka yang paling rendah, yaitu
orang-orang yang bertobat, dan berpegang teguh pada agama Allah dan
memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah. *Akhlasha *di dalam S. Shad (38):
46, diartikan dengan mensucikan atau menjadikan tulus. Ata' dan Malik bin
Dinar mengartikannya dengan 'mensucikan', yaitu Allah mensucikan hati mereka
(Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub *a.s*.) dari mencintai dunia. Adapun Mujahid
mengartikannya dengan 'menjadikan mereka tulus melakukan perbuatan untuk dan
mengingatkan manusia tentang kehidupan akhirat.'
Orang yang melakukan perbuatan 'ikhlas' disebut *mukhlish *(مُخْلِص). Di
dalam Alquran kata* *مُخْلِص dan jamaknya مُخْلِصِين/مُخْلِصُون, ada yang
dapat dibaca dengan dua cara, yaitu *mukhlish *atau
*mukhlishun/mukhlishin *(bentuk
*ism fa'il*)* *atau* mukhlash *atau *mukhlashun/mukhlashin *(bentuk *ism
maf'ul*)*, *seperti yang terdapat di dalam S. Maryam (19): 51, Yusuf (12):
24, Ash-Shaffat (37): 40, 74, 128, 160, dan 169, serta Shad (38): 83*. *Bila
dibaca* mukhlish *maka maknanya adalah 'orang yang tulus atau ikhlas kepada
Allah', tetapi jika dibaca *mukhlash *maka maknanya adalah 'orang pilihan
(Allah).' Kedua makna tersebut dapat digunakan untuk menerangkan orang yang
disebut di dalam ayat yang dimaksud. Kata tersebut digunakan berkaitan
dengan Nabi Musa *a.s*. (S. Maryam [19]: 51); Nabi Yusuf *a.s.* (S.
Yusuf* *[12]:
24); orang-orang yang akan mendapatkan kenikmatan di surga (S. Ash-Shaffat
[37]: 40); orang yang tidak termasuk golongan yang sesat yang akan di azab
di akhirat; padahal, telah datang kepada mereka pemberi peringatan (S.
Ash-Shaffat [37]: 74); Nabi Ilyas *a.s.* dan umatnya yang tidak termasuk
penyembah *Ba'l *dan akan masuk neraka (S. Ash-Shaffat [37]: 128); jin yang
tidak termasuk penghuni neraka (S. Ash-Shaffat* *[37]: 160); orang musyrikin
yang seandainya mendapat kitab dari Allah tentulah mereka akan termasuk
orang yang ikhlas (S. Ash-Shaffat [37]: 169); dan orang yang akan selamat
dari godaan iblis yang telah bersumpah kepada Allah akan menggoda segenap
anak Adam (S. Shad [38]: 83).
Di samping itu, ada yang hanya dibaca dengan *mukhlish *dan jamaknya
*mukhlishin/
mukhlishun.* Bacaan yang demikian selalu dikaitkan dengan kata *ad-din *(
الدِّيْن) kecuali pada S. Al-Baqarah (2): 39. Kata *ad-din*, menurut para
ahli tafsir, berarti 'ibadah' atau 'ketaatan kepada Allah'. Hal ini berarti
bahwa penggunaan kata *mukhlish *(مُخْلِصْ ) selalu diartikan dengan 'orang
yang melakukan perbuatan (ibadah atau ketaatan) yang tulus kepada Allah dan
terlepas dari pengaruh makhluk yang terwujud di dalam ria dan syirik'.
Penggunaan kata yang demikian berkaitan dengan perintah menyembah kepada
Allah dengan penuh keihlasan (S. Az-Zumar [39]: 2, 11, dan 14, Al-A'raf [7]:
29, serta Al-Mu'min [40]: 14 dan 65); tabiat manusia yang jika dalam
kesulitan pasti akan memohon dengan sejernih hati (ikhlas) hanya kepada-Nya
(S. Yunus [10]: 22, Al-'Ankabut* *[29]: 65, Luqman [31]: 32); Ahli Kitab
yang diperintah hanya menyembah dengan ikhlas kepada Allah, tetapi mereka
mengkhianatinya (S. Al-Bayyinah [98]: 5); dan pertentangan orang beriman
dengan orang Nasrani dan Yahudi, sedangkan orang beriman adalah yang lebih
tulus menyembah kepada Allah (S. Al-Baqarah* *[2]: 139). (Zubair Ahmad).
--
Salamun 'ala manittaba al Huda
ARMANSYAH
http://armansyahskom.wordpress.com
http://www.penulis-indonesia.com/armansyah/blog/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar